Laporan wartawan TribunJakarta.com, Pebby Adhe Liana
TRIBUNJAKARTA.COM, JAKARTA - Motor bekas menjadi pilihan bagi sebagian masyarakat yang ingin membeli motor dengan harga terjangkau.
Meski saat ini berbagai varian baru motor terus keluar di pasaran, namun usaha showroom penjualan motor bekas di kota Jakarta tetap bergerliat dengan pasarnya sendiri.
Salah satunya, showroom Jaya Motor yang ada di kawasan Kemayoran, Jakarta Pusat.
Badra, pemilik Showroom Jaya Motor mengatakan ada berbagai jenis, merek, dan varian motor yang dijual dengan harga kisaran Rp 3,5 juta hingga Rp 17,5 juta.
Adalah motor keluaran Honda seperti Beat masih paling banyak diminati pembeli.
"Yang paling banyak peminatnya itu motor Beat. Banyak orang pakai Beat. Karena harganya terjangkau, irit. Ada juga yang suka nanya scoopy. Tapi, kalau scoopy harganya tinggi," kata Badrah, ditemui di showroom miliknya, Jumat (15/4/2022).
Baca juga: Inspirasi Usaha, Kisah Bisnis Bittersweet by Najla Manfaatkan Sosmed Jadi Ladang Cuan
Baca juga: Perusahaan Rintisan Ini Hadirkan Aplikasi Konsultan Perizinan, Tawarkan Kemudahan Urus Izin Usaha
"Kedua Yamaha Mio M3. Motor ini lagi naik daun juga sekarang. Kalau Mio M3 dari 2015 ke atas." sambungnya.
Mayoritas motor bekas yang dijual di showroom milik Badrah adalah keluaran Honda dan Yamaha.
Motor Honda Beat produksi tahun kisaran 2010 dengan kondisi mesin dan telah bayar pajak, dibandrol di kisaran harga Rp 6,5 juta.
Sementara, untuk motor jenis yang sama dengan pajak yang mati bisa dihargai sekitar Rp 5,5 juta.
"Karena kalau kami yang dilihat pertama adalah mesin. Itu nomor satu. Kedua, surat-surat, baru setelahnhya body-nya. Karena memang yang paling utama adalah mesin," kata dia.
Baca juga: Ramai Diburu Pembeli Jelang Lebaran, Omzet Penjual Kue Kering di Pasar Jatinegara Meningkat
Sementara itu, untuk jenis motor keluaran Yamaha seperti Nmax, dibandrol kisaran harga Rp 17,5 juta.
Memang, menurut Badra harga yang ditawarkan biasanya bergantung dengan jenis motor serta kondisinya.
Oleh sebab itu penting bagi setiap calon pembeli untuk teliti agar tak tertipu ketika membeli motor bekas.
Keberadaan mata elang tak bisa dilepaskan penjualan sepeda motor di Indonesia. Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI) mencatat, Indonesia merupakan pasar penjualan sepeda motor paling besar di Asia Tenggara, dan ketiga terbesar di dunia. Ketua Umum AISI Gunadi Sindhuwinata mengatakan, angka penjualan sepeda motor di Indonesia sempat mencapai delapan juta pada 2012 hingga 2014. Kalah dari Tiongkok dan India.
Menurut Gunadi, kondisi pasar otomotif, khususnya sepeda motor di Indonesia, tak pernah mengalami goncangan signifikan. Meski saat ini penjualan sepeda motor hanya ditarget mencapai enam juta unit. Namun, kata dia, itu tidak berarti pasar sepeda motor anjlok.
“Perkiraan kami dapat mencapai enam juta itu satu hal yang lumayan. Tidak boleh dikatakan jelek, tapi juga tidak bagus,” ucap Gunadi saat ditemui Liputan6.com.
Tingginya angka penjualan ini, menurut Gunadi, dilatari kebutuhan masyarakat. Sepeda motor, kata Gunadi, menjadi solusi untuk masyarakat memenuhi kebutuhan transportasi pribadi, yang belum bisa diatasi kendaraan umum. Apalagi, kata Gunadi, distribusi pendapatan masyarakat Indonesia masih di bawah 4.300 dolar AS, dengan kata lain, belum mampu untuk membeli mobil.
Gunadi menjelaskan, AISI sebagai organisasi yang menaungi produsen sepeda motor, meyakini penjualan pada tahun mendatang akan lebih meningkat. Pasalnya, kata dia, pemerintah sudah mencanangkan target pertumbuhan ekonomi Indonesia tumbuh 5,2 persen pada 2017. “Ini yang menjadi harapan kita. Pasar sepeda motor akan berkembang di Indonesia,” kata Gunadi.
Gunadi tak mengingkari ada potensi kredit macet dalam pasar otomotif. Ini didasarkan atas perhitungan Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI), yang menghitung kredit macet atau non-performing financing dalam industri penjualan otomotif sebesar 2% dari 6 juta penjualan sepeda motor hingga Oktober 2016.
Ketua Umum APPI Suwandi Wiratno menerangkan, angka 2% ini sebenarnya tak terlalu mengkhawatirkan. Mengingat, kata Suwandi, angka itu masih dianggap lebih rendah dari aturan Otoritas Jasa Keuangan, terkait kesehatan multifinance, yang menerapkan ambang batas 5%. “Kalau kita masih 2%, 98% nasabahnya masih bayar tepat waktu, masih mempunyai pola pembayaran yang sangat baik,” kata Suwandi.
Meski hanya 2%, Suwandi tak memungkiri, NPF tersebut bisa memberi soal di kemudian hari. Sebab, adanya NPF atau kredit macet berimbas pada biaya tambahan yang harus dikeluarkan perusahaan pembiayaan. Hal ini membuat perusahaan pembiayaan harus meminjam dana kembali dari bank. Sementara di sisi lain, kata Suwandi, perusahaan masih bisa mengusahakan dana masuk dari tunggakan kredit yang dimiliki nasabah.
“Saat kita membiayai nasabah, umumnya kita akan mendatangi setiap nasabah itu untuk melunasi cicilannya sesuai dengan apa yang diperjanjikan,” kata Suwandi. Usaha mendatangi nasabah ini dilakukan petugas penagih utang dari internal perusahaan secara sopan. Namun, Suwandi menyebut, tak semua nasabah mau bekerja sama dengan penagih.
Ini membuat perusahaan pembiayaan kebingungan. Akibatnya, kata dia, mereka harus menyewa pihak ketiga atau tenaga alih daya untuk mencari kendaraan yang statusnya dimiliki perusahaan pembiayaan lewat sertifikat fiducia. “Kalau nasabahnya sudah tidak bisa membayar, ya kita cari unitnya,” kata Suwandi menambahkan.
Pekerjaan ini yang dilakukan Hanok bersama tiga temannya. Hanok mengakui tak mudah menjalankan pekerjaan menarik barang dari seseorang. Namun, dirinya hanya menjalankan tugas. Meskipun, dirinya mengakui, terkadang merasa kasihan saat harus memberhentikan seseorang yang tak dikenal di tengah jalan. “Kita kan namanya manusia ada rasa kasihan,” ucap Hanok.