Penerbitan kakawin SutasomaKakawin Sutasoma telah diterbitkan dan diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh Soewito Santoso. Suntingan teksnya diterbitkan pada tahun 1975.
Selain itu di Bali banyak pula terbitan suntingan teks. Salah satu contohnya yang terbaru adalah suntingan yang diterbitkan oleh "Dinas Pendidikan provinsi Bali" (1993). Namun suntingan teks ini dalam aksara Bali dan terjemahan adalah dalam bahasa Bali.
Antara tahun 1959 - 1961 pernah diusahakan penerbitan teks sebuah naskah yang diiringi dengan terjemahan dalam bahasa Indonesia oleh I Gusti Bagus Sugriwa.
Pada tahun 2009 terbit terjemahan baru dalam bahasa Indonesia beserta teks aslinya dalam bahasa Jawa Kuno. Suntingan teks dan terjemahan diusahakan oleh Dwi Woro R. Mastuti dan juga Hastho Bramantyo, dosen Stab Syailendra.
memiliki naskah asli yang berkaitan dengan artikel ini:
Yuk, beri rating untuk berterima kasih pada penjawab soal!
© 2024 — Perpustakaan Amir Machmud
Didukung oleh Kementerian Dalam Negeri
21. "Sebelum makan, jangan lupa cuci tanganmu."
22. "Kunci keberhasilan hidup sehat berawal dari niat yang kuat."
23. "Tak ada kenikmatan yang sebanding dengan kesehatan."
24. "Tubuh juga butuh istirahat agar lebih segar."
25. "Hargai tubuhmu dengan melakukan pola hidup sehat."
26. "Semua orang ingin sehat, tapi tidak semua orang menjaga kesehatan."
27. "Kesehatan mahal, sakit lebih mahal lagi."
28. "Satu di antara penyesalan orang sakit adalah tidak jaga kesehatan."
29. "Jangan menukar kesehatan dengan uang."
30. "Cuci tangan sebelum makan."
31. "Jaga kebugaran dengan minum 8 gelas air putih per hari."
32. "Hari tua cerminan pola hidupmu."
Yuk, baca artikel contoh lainnya dengan mengeklik tautan ini.
Pasal 34 UUD 1945 mengatur tentang fakir miskin dan anak terlantar yang menjadi tanggung jawab negara. Dalam buku Bantuan Hukum di Indonesia: Hak untuk Didampingi Penasihat Hukum bagi Semua Warga Negara oleh Frans Hendra Winarta disebutkan, disebabkan hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa bantuan terhadap fakir miskin tak terkecuali bantuan hukum, juga merupakan kewajiban negara.
Pasal ini terdiri dari 4 ayat dan menjelaskan tentang kesejahteraan sosial. Apa saja bunyinya?
Kakawin Sutasoma ReplikaKitab Sutasoma ditulis dalam Bahasa Jawa kuno oleh Mpu Tantular pada akhir abad ke-14 pada masa kejayaan Kerajaan Majapahit. Kitab ini menggambarkan toleransi beragama yang sudah lama terjalin di Kerajaan Majapahit. Semangat toleransi ini kemudian dijadikan semboyan bangsa Indonesia. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika merupakan pernyataan sikap untuk hidup berdampingan dalam perbedaan dan menjadikan perbedaan sebagai nada-nada untuk menghasilkan harmonisasi dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kakawin Sutasoma merupakan kitab yang dikutip oleh pendiri bangsa Indonesia dalam merumuskan semboyan Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu “Bhinneka Tunggal Ika”. Kutipan frase “Bhinneka Tunggal Ika” terdapat pada pupuh 139 bait 5, yang petikannya sebagai berikut: “Rwaneka dhatu winuwus Buddha Wiswa Bhinneki rakwa ring apan kena parwanosen, Mangka ng Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal, Bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa”. Artinya adalah “Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda. Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali? Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal. Terpecahbelahlah itu, tetapi satu jugalah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran.
Kakawin Sutasoma adalah sebuah kakawin dalam bahasa Jawa Kuno. Kakawin ini termasyhur, sebab setengah bait dari kakawin ini menjadi motto nasional Indonesia: Bhinneka Tunggal Ika (Bab 139.5).[1]
Motto atau semboyan Indonesia tidaklah tanpa sebab diambil dari kitab kakawin ini. Kakawin ini mengenai sebuah cerita epis dengan pangeran Sutasoma sebagai protagonisnya. Amanat kitab ini mengajarkan toleransi antar agama, terutama antar agama Hindu-Siwa dan Buddha. Kakawin ini digubah oleh Empu Tantular pada abad ke-14.
Calon Buddha (Bodhisattva) dilahirkan kembali sebagai Sutasoma, putra Raja Hastinapura, prabu Mahaketu. Setelah dewasa Sutasoma sangat rajin beribadah, cinta akan agama Buddha. Ia tidak senang akan dinikahkan dan dinobatkan menjadi raja. Maka pada suatu malam, sang Sutasoma melarikan diri dari negara Hastina.
Maka setelah kepergian sang pangeran diketahui, timbullah huru-hara di istana, sang raja beserta sang permaisuri sangat sedih, lalu dihibur oleh orang banyak.
Setibanya di hutan, sang pangeran bersembahyang dalam sebuah kuil. Maka datanglah dewi Widyukarali yang bersabda bahwa sembahyang sang pangeran telah diterima dan dikabulkan. Kemudian sang pangeran mendaki pegunungan Himalaya diantarkan oleh beberapa orang pendeta. Sesampainya di sebuah pertapaan, maka sang pangeran mendengarkan riwayat cerita seorang raja, reinkarnasi seorang raksasa yang senang makan manusia.
Alkisah adalah seorang raja bernama Purusada atau Kalmasapada. Syahdan pada suatu waktu daging persediaan santapan sang prabu, hilang habis dimakan anjing dan babi. Lalu si juru masak bingung dan tergesa-gesa mencari daging pengganti, tetapi tidak dapat. Lalu ia pergi ke sebuah pekuburan dan memotong paha seorang mayat dan menyajikannya kepada sang raja. Sang raja sungguh senang karena merasa sangat sedap masakannya, karena dia memang reinkarnasi raksasa. Kemudian dia bertanya kepada sang juru masak, tadi daging apa. Karena si juru masak diancam, maka iapun mengaku bahwa tadi itu adalah daging manusia. Semenjak saat itu diapun gemar makan daging manusia. Rakyatnyapun sudah habis semua; baik dimakan maupun melarikan diri. Lalu sang raja mendapat luka di kakinya yang tak bisa sembuh lagi dan iapun menjadi raksasa dan tinggal di hutan.
Sang raja memiliki kaul akan mempersembahkan 100 raja kepada batara Kala jika dia bisa sembuh dari penyakitnya ini.
Sang Sutasoma diminta oleh para pendeta untuk membunuh raja ini tetapi ia tidak mau, sampai-sampai dewi Pretiwi keluar dan memohonnya. Tetapi tetap saja ia tidak mau, ingin bertapa saja.
Maka berjalanlah ia lagi. Di tengah jalan syahdan ia berjumpa dengan seorang raksasa ganas berkepala gajah yang memangsa manusia. Sang Sutasoma hendak dijadikan mangsanya. Tetapi ia melawan dan si raksasa terjatuh di tanah, tertimpa Sutasoma. Terasa seakan-akan tertimpa gunung. Si raksasa menyerah dan ia mendapat khotbah dari Sutasoma tentang agama Buddha bahwa orang tidak boleh membunuh sesama makhluk hidup. Lalu si raksasa menjadi muridnya.
Lalu sang pangeran berjalan lagi dan bertemu dengan seekor naga. Naga ini lalu dikalahkannya dan menjadi muridnya pula.
Maka akhirnya sang pangeran menjumpai seekor harimau betina yang lapar. Harimau ini memangsa anaknya sendiri. Tetapi hal ini dicegah oleh sang Sutasoma dan diberinya alasan-alasan. Tetapi sang harimau tetap saja bersikeras. Akhirnya Sutasoma menawarkan dirinya saja untuk dimakan. Lalu iapun diterkamnya dan dihisap darahnya. Sungguh segar dan nikmat rasanya. Tetapi setelah itu si harimau betina sadar akan perbuatan buruknya dan iapun menangis, menyesal. Lalu datanglah batara Indra dan Sutasoma dihidupkan lagi. Lalu harimaupun menjadi pengikutnya pula. Maka berjalanlah mereka lagi.
Hatta tatkala itu, sedang berperanglah sang Kalmasapada melawan raja Dasabahu, masih sepupu Sutasoma. Secara tidak sengaja ia menjumpai Sutasoma dan diajaknya pulang, ia akan dikawinkan dengan anaknya. Lalu iapun berkawinlah dan pulang ke Hastina. Ia mempunyai anak dan dinobatkan menjadi prabu Sutasoma.
Maka diceritakanlah lagi sang Purusada. Ia sudah mengumpulkan 100 raja untuk dipersembahkan kepada batara Kala, tetapi batara Kala tidak mau memakan mereka. Ia ingin menyantap prabu Sutasoma. Lalu Purusada memeranginya dan karena Sutasoma tidak melawan, maka dia berhasil ditangkap.
Setelah itu dia dipersembahkan kepada batara Kala. Sutasoma bersedia dimakan asal ke 100 raja itu semua dilepaskan. Purusada menjadi terharu mendengarkannya dan iapun bertobat. Semua raja dilepaskan.
Kutipan ini berasal dari pupuh 139, bait 5. Lengkapnya ialah:
Kakawin Sutasoma digubah oleh mpu Tantular pada masa keemasan Majapahit di bawah kekuasaan prabu Rajasanagara atau raja Hayam Wuruk. Tidak diketahui secara pasti kapan karya sastra ini digubah. Oleh para pakar diperkirakan kakawin ini ditulis antara tahun 1365 dan 1389. Tahun 1365 adalah tahun diselesaikannya kakawin Nagarakretagama sementara pada tahun 1389, raja Hayam Wuruk mangkat. Kakawin Sutasoma lebih muda daripada kakawin Nagarakretagama.
Selain menulis kakawin Sutasoma, mpu Tantular juga jelas diketahui telah menulis kakawin Arjunawijaya. Kedua kakawin ini gaya bahasanya memang sangat mirip satu sama lain.
Kakawin Sutasoma bisa dikatakan unik dalam sejarah sastra Jawa karena bisa dikatakan merupakan satu-satunya kakawin bersifat epis yang bernapaskan agama Buddha.
Kakawin Sutasoma diturunkan sampai saat ini dalam bentuk naskah tulisan tangan, baik dalam bentuk lontar maupun kertas. Hampir semua naskah kakawin ini berasal dari pulau Bali. Namun ternyata ada satu naskah yang berasal dari pulau Jawa dan memuat sebuah fragmen awal kakawin ini dan berasal dari apa yang disebut "Koleksi Merapi-Merbabu". Koleksi Merapi-Merbabu ini merupakan kumpulan naskah-naskah kuno yang berasal dari daerah sekitar pegunungan Merapi dan Merbabu di Jawa Tengah. Dengan ini bisa dipastikan bahwa teks ini memang benar-benar berasal dari pulau Jawa dan bukan pulau Bali.
Di pulau Bali kakawin ini merupakan salah satu kakawin yang cukup digemari. Hal ini berkat kiprah I Gusti Bagus Sugriwa, salah seorang pakar susastra dari Bali yang memopulerkan kakawin ini. Ia sebagai contoh banyak menggunakan petikan-petikan dari kakawin ini dalam bukunya mengenai pelajaran kakawin.
Maksud Pasal 34 UUD 1945
Dijelaskan dalam JDIH Kemenkeu, pasal ini mengamanatkan kewajiban negara untuk memelihara fakir miskin dan anak terlantar. Bagi keduanya, pemerintah dan pemerintah daerah memberi rehabilitasi sosial jaminan sosial, perlindungan sosial, dan pemberdayaan sosial sebagai wujud pelaksanaan kewajiban negara dalam rangka menjamin terpenuhinya hak kebutuhan dasar warga negara yang miskin serta tidak mampu.
Selanjutnya juga dikatakan bahwa penyelenggaraan kesejahteraan sosial ini membutuhkan peran masyarakat seluas-luasnya, baik itu perseorangan, keluarga, organisasi keagamaan, organisasi sosial kemasyarakatan, organisasi profesi, lembaga swadaya masyarakat, badan usaha, lembaga kesejahteraan sosial, atau juga lembaga kesejahteraan sosial asing agar terselenggara kesejahteraan sosial yang terarah, terpadu, serta berkelanjutan.
Nah, itu dia isi pasal 34 UUD 1945 dan penjelasannya. Semoga membantu belajar kalian, detikers!
Isi Pasal 34 UUD 1945
Mengutip situs resmi DPR RI, isi ayat 1-4 pasal 34 UUD 1945 adalah sebagai berikut:
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
(1) Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.
(2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
(3) Negara bertanggung-jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.